Selasa, 29 November 2011

STATUS DAN KEWAJIBAN MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN

Al-Quran secara mendasar memfokuskan sasaran perhatiannya terhadap manusia, terutama bagi perbaikan dan kemajuan serta pengenalan dirinya sendiri melalui pemberitahuan firman-firnan di dalamnya. Secara tegas Allah SWT menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaannya dengan tingkat kesenpurnaan dan keunikannya yang prima dibandingkan dengan makhluk lainnya. Sebagaimana Firmannya dalam Al-Quran Surat At-Tin (95;4).

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Namun Allah memperingatkan bahma kualitas kemanusiaannya masih belum selesai. Sehingga manusia diwajibkan untuk menyempurnakan dirinya.

“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusi itu fitri. Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah dengan datangnya seorang Rasul pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya. Selanjutnya pada radiasi sufi terdapat postulat yang menyatakan man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, jadi pemahaman diri adalah tangga yang harus dilewati seorang mukmin untuk mendaki jenjang yang lebih tinggi dalam rangka memahami status dirinya dan tuhannya.

Dalam pandangan yang lebih substantif, yang kemudian menjadikan manusia mendapatkan kualitas ahsanu taqwim, sebaik-baiknya penciptaan bukan hanya kesempurnaan fsiologis-biologisnya, melaikan keseluruhan kepribadiannya. Dalam hal ini, perlu diungkapkan potensi ruhani yang dalam kamus islam disebut fitrah.

Selanjutnya, secara katagorikal, Al-Quran juga mendudukan manusia kedalam dua fungsi pokok, yaitu sebagai ‘abdullah dan khalifatullah. Pandangan katagorikal ini tidak mengisyaratkan suatu pengertian yang bercorak dualisme-dikotomik. Dengan penyebutan dua fungsi ini, Al-Quran ingin menekankan muatan fungsional yang harus diemban manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi.

BAB II PEMBAHASAN

Kedudukan Manusia sebagai Makhluk
Sebagaimana telah dibahas dalam pendahuluan, bahwa manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan penciptaan paling puncak dengan tingkat kesempurnaan dan keunikannya dibanding makhluk lainnya dengan kata lain fii ahsani taqwim. Sehingga manusia memiliki kedudukan yang tinggi dalam melaksanakan amanah sebagai pelaku perpanjangan tangan Allah di muka bumi.

Al-Quran, dalam suatu ungkapan yang sangat metaforik menyatakan bahwa kesejatian manusia sesungguhnya tidak hanya dilihat dari bentuk fsiologis penciptaan manusia, tetapi pada kualitas yang disimbolkan dengan penguasaan terhadap nama-nama (al-asma), sebagai simbol kualitas intelektual atau kesadaran kemanusiaannya. Pandangan ini dapat dikaji dari sebutan yang dipergunakan dalam Al-Quran untuk manusia. Istilah yang dimaksud adalah Al-insan dan Al-basyar.[1]

Kata al-insan atau ins bentuk tunggal dai kata anasa yang berati melihat. Mengetahui, dan meminta izin. Atas dasar itu, kata al-insan mengandung pemahaman adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, bahwa dengan penalaran manusia dengan penalarannya manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui yang benar dan yang salah.

Selanjutnya, jika kata al-insan dilihat dari asal kata nasiya yang berarti lupa, menunjukan adnya kaitan yang erat antara manusia dengan kesadaran dirinya. Sedangkan jika al-insan dilihat dari kata al-ins atau anisa dapat berarti jinak. Oleh karena itu, di dalam Al-Quran kata al-insan dan al-ins selmanya dipakai dalam kaitan dengan kata al-jini, sehingga al-jini dapat diartikan lawan dari kata al-ins.

Berdasarkan informasi tersebut, dapat diketahui dengan jelas bahwa kata al-insan dengan berbagai kata yang serumpun dengannya digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukan bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir dan berbudaya.

Selanjutnya, kata al-basyar (jamak) dari kata (mufrad) Basyarah. Pemaknaan kata al-basyar dibeberapa tempat dalam Al-Quran seluruhnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut adalah dzurriyyati adam (Aisyah Abd. Rahman Binti Syati, 1966:11). Pengertian dari kata al-basyar nampak dari bentuk Fisiknya (lahiriyah), yang secara umum satu dengan lainnya memiliki persamaan-persamaan. Pengertian al-basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang berkenaan dengan aktivitas lahiriyahnya, yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, berkeluarga, dan akhirnya mati mengahiri kegiatannya. Melalui aktivitas basyariyahnya, maka gagasan manusia dapat diwujudkan dalam entuk kogkrit.

Penggunaan kata al-insn dan al-basyar dalam Al-Quran jelas menunjukan konteks makna serta status yang berbeda, meskipun sama-sama menunjukan pengertian manusia. Manusia dalam konteks al-insan , manusia dengan dimensi jasmaniyah.

Salian kedua istilah tersebut, Al-Quran juga menyebut istilah nafs (nafsani) dalam bentuk kata jadian tanaffasa, yatanaffasu, nafs, dan anfus. Dalam konteks manusia, kata nafs digunakan Al-Quran untuk menyebut manusia sebagai totalitas jasmani, rohani , sisi luar dan dalam (psiko-fisik).[2]

Selanjutnya, dalam QS. Al-Ra’du ayat 11, disamping mengisyaratkan pengertian nafs sebagai wadah, nafs juga mengisyaratkan sebagai penggerak tingkah laku manusia.

Dari sudut uraian tersebut, kiranya dapat diperoleh gambaran kedudukan manusia adalah sebagai makhluk yang memiliki kelengkapan jasmani (fisik) dan (psikis), dan totalitas keduanya berada dalam dimensi nafs/nafsani (psiko-fisiknya).

Manusia sebagai Hamba Allah (Abdullah)
Penciptaan manusia dengan semua kesempurnaan dan kelengkapan jasmani baik fisik maupun psikis serta totalitas keduanya yaitu dimensi nafs/nafsani (psiko-fisiknya). Allah menciptakan manusia tidak karena kebetulan yang tidak jelas maksud dan tujuannya.

Dengan semua potensi dan kelebihannya mansusia dituntut agar mengetahui siapa sebenarnya. Oleh karena itu, Allah menyebut manusia sebagai hamba (‘abd). Kedudukan manusia sebagai abdullah hamba yang harus beribadah, taat dan patuh kepada Allah.

Dia adalah seorang hamba yang prestasi tertingginya adalah kepatuhan penuh terhadap kehendak majikannya. Sebagai hamba manusia harus membebaskan dirinya dari segala yang nampak sebagai “miliknya” sehingga kehendak-Nya berjalan melalui dirinya tanpa rintangan.[3]

Kedudukan manusia sebagai hamba (‘abd) sebagaimana tertera dalam Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 21,

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.

Dan dalam surat Adz-Dzariyat (51;56)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Dalam ayat pertama Allah menyeru manusia dengan menggunakan sebutan nas yang mengandung pemahaman sama dengan al-Ins yang terdapat dalam ayat kedua. Dalam kedua ayat tersebut Allah menyebut manusia dengan sebutan al-nas dan al-ins yang berarti melihat, mengetahui, dan meminta izin. Atas dasar itu jelaslah manusia dituntut berfikir siapa diri sebenarnya. Dengan demikian kedudukan manusia adalah sebagai hamba yang harus bertauhid dan beribadah untuk menyembahnya sebagai bentuk kepatuhan terhadap penciptanya.

Pelaksanaan ibadah itu pada hakikatnya adalah dalam rangka melaksanakan fungsi sebagai kehalifahan di alam semesta.[4] Sementara itu Musa Asy’ari (1999:20) menyatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang kesmuanya itu layak diberikan kepada Allah.

Jika pengertian ibadah ini dihubungkan dengan khalifah, dapat diperoleh pemahaman bahwa kedudukan manusia sebagai khalifah adalah sebagai pengganti kekuasaan Allah, ia menjadi pemegang kepemimpinan dan kekuasaan untuk memakmurkan dunia. Oleh karena itu esensi seorang khalifah adalah kreativitas. Sedangkan kedudukan seseorang sebagai ‘abd adalah pengabdi, yang pengabdiannya itu hanya layak diberikan kepada Allah.[5]

Oleh karena itu, esensi seorang khalifah dan seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan serta ketakwaan. Dengan demikian kedudukan manusia di alam raya ini disamping sebagai makhluk dan khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap potensi yang dimilikinya, juga sekaligus sebagai ‘abd (hamba) yang keseluruhan kreativitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Allah.

Kedudukan (Status) Manusia Sebagai Khalifah
Seorang hamba yang hanya memberikan ketaatan dan kepatuhannya hanya kepada Allah. Dan Allah menistimewakan hambanya itu dengan menundukan alam kepadanya, agar dia mengurus dan mengaturnya agar makmur dan tegaknya aturan Allah. Maka selanjutnya Allah memberikan kedudukan kepada umat manusia sebagai khalifah. Pengganti perpanjangan tangan Allah untuk menguasai dan memakmurkan Dunia.

… Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya….
Al-Quran menyebut kata khalifat dalam bebtuk tunggal sebanyak dua kali, yaitu dalam surat Al-baqarah ayat 30.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Kemudian dalam Al-Quran Allah menyebutnya kembali dalam surat Shad ayat 26.
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah……”.
Dalam bentuk plural (jamak), yaitu khalaif dan khulafa yang masing-masing diulang sebanyak empat kali dan tiga kai.

Kata khalifah sering diartikan sebagai “pengganti”. Dengan mengacu pada ayat yang artinya: “Dan Daud membunuh Jalut, Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta mengajarkannya apa yang Dia kehendaki …”.[6]

Quraisy Shihab (1992) menyatakan bahwa kekhalifahan yang dianugrahkan kepada Nabi Daud as., bertalian dengan kekuasaan mengolah wilayah tertentu. Hal diperoleh berkat anugrah Ilahi yang mengajarkan kepanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan

Disebut istilah khalifah yang dikaitkan dengan upaya Allah yang mengajarkan al-Hikmah dan ilmu pengetahuan sebagaimana disebutkan itu memberikan petunjuk yang jelas tentang adanya kaitan yang erat antar fungsi kekhalifahan dengan hakikat manusia sebagai makhluk berfikir dan berbudaya (berpendidikan). Maka manusia yang menyandang kedudukan (status) sebagai khalifah dalam melaksanakan fungsi kehalifahannya itu perlu dibekali pendidikan.

Kewajiban Manusia
Setiap manusia baik statusnya itu sebagai makhluk, ‘abd (hamba) dan khalifah (penguasa) semuanya mempunyai kewajiban atas dirinya dan Tuhannya.

a. Kewajiban sebagai Makhluk
Manusia adalah makhluk yang merupakan puncak penciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan serta kelengkapan dan keunikan yang prima dibanding makhluk lain. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

(At-Tin ; 4)

Kelengkapan penciptaan manusia adalah karena manusia Allah ciptakan dengan tiga unsur yang mempunyai fungsi dan potensi. Unsur-unsur itu adalah:

1. Qalbun, yaitu hati yang berfungsi:

Ø Untuk membentuk kamauan/keputusan yang bersumber dari keyakinan.

Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri (Al-Qiyamah ; 14)
Maksud ayat ini ialah, bahwa anggota-anggota badan manusia menjadi saksi terhadap pekerjaan yang telah mereka lakukan seperti tersebut dalam surat Nur : 2.

“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan”.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Al-Isra ; 36)
Ø Untuk berkehendak atu mempunyai keinginan.
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”. (Al-Kahfi ;29)
Ø Untuk kebebasan memilih. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Surat Al-Balad;10). Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan.

2. ‘Aqlun, yaitu akal fikiran. Yang berfungsi membentuk pengetahuan.

Dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".(Al-Mulk;10)
3. Jasad, yaitu anggota badan atau tubuh yang sempuna dan lenkap dengan berbagai funsi masing-masing. Sehingga kesemua fungsi jasad adalah untuk beramal.

“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (At-Taubah ; 105).[7]
Dengan ketiga hal itu, manusia diharapkan agar mereka mengetahui kewajiban serta tugas yang diberikan kepadanya, yaitu kembali pada kefitrahannya (agama).

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(Ar-Rum;30)
Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.

Merujuk kepada fitrah yang di kemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejaiannya, membawa potensi beragama dan dipahami sebagai tauhid.[8]

b. Kewajiban Sebagai Khalifah
Sebagaimana telah diuarikan di muka, bahwa manusia makhluk yang diciptakan dengan semua kelengkapan dan kesempurnaan dibanding makhluk lain, bahkan malaikat sekalipun sehingga Allah menjadikan manusia sebagai khalifah. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 30.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Khalifah erat kaitannya dengan kepemimpinan. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Rasulullah bersabda:

“Ketahuilah, kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertangung jawab terhadap pimpinannya”. (Mutafaq’alaih)[9]
Khalifah merupakan pengganti kekuasan Allah untuk mengatur dan memakmurkan dunia menurut hukum (aturan) serta undang-undang yang telah diturunkan. Dalam surat Hud (11;61) Allah Berfirman:

“… Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya …”.
Dan dalam surat Shad ayat 26,

“… Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…”.
Khalifah memiliki tugas dan tanggungjawab. Surat Al-Baqarah ayat 30 di atas menginformasikan unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur kekhalifahan tersebut adalah: Bumi atau wilayah, khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta hubungan antara pemilik kekuasaan atau wilayah, dan hubungan dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).[10]

Dengan demikian kewajiban sebagai khalifah tidak lepas dari tiga unsur tersebut. Kewajiban dan tanggungjawab seorang khaliafah (pemimpin yang diberi kekuasaan) diantarnya adalah:

1. Memberlakukan aturan sesuai dengan aturan Allah, sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 4:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat".
2. Membawa ummat pada jalan Allah, membina serta memelihara keutuhan kesatuan ummat. Melaksanakan tugas sesuai program yang telah disepakati. Di dalam surat Al-Hajj (22;41) Allah berfirman,

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.
3. Melayani Masyarakat, Dalam pandangan islam, seorang pemimpin adalah seorang yang diberi amanat oleh Allah swt untuk memimpin rakyat, yang di akherat kelak akan dimintai pertangung jawaban oleh Allah swt. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah di akherat kelak. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa di antara rakyat yang dipimpinnya sehingga bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun sebaliknya, ia harus mampu menepatkan diri sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya.

Dalam hadist lain juga disampaikan hal yang sama “Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka.(HR. Abu Na’im)[11] Agar kaum muslim memiliki pemimpin yang adil, yang mampu memelihara dan menjaga mereka, pemimpin yang dipilih adalah mereka yang betul-betul dapat dipercaya dan kuat dalam kepemimpinannya. Dalam memilih pemimpin harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku dan ketaatan dalam keagamaannya. Jangan memilih pemimpin karena didasarkan rasa emosional, baik karena ras, suku, bangsa ataupun keturunan.

c. Kewajiban Sebagai Hamba (‘Abd)
Kedudukan manusia selain menjadi khalifah ia juga berstatus sebagai hamba (‘Abd) yang memiliki tugas dan kewajiban serta tanggungjawab yang sama. Maka salah satu tugas pokok dalam kata lain kewajiban seorang hamba adalah mengabdi kepada sang ma’bud yaitu Allah SWT.

Tugas atau kewajiban adalah amanat yang telah Allah bebankan kepada hambanya. Firman Allah :

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh, (Surat Al-Ahzab ; 72)

Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan. Dan diantara tugas keagamaan itu adalah beribadah kepada Allah.


Dalam surat Adz-Dzariyat (51;56) Allah menegaskan tentang hakikat serta tugas pokok seorang hamba adalah beribadah.

“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Adz-Dzariyat ; 56)

Kemudian dalam surat Al-Baqarah (2;21) Allah mempertegas kembali selain mengabdi ia pun harus bertauhid bahwa hanya Allah lah satu-satunya Rab yang maha mengatur dan maha mengurus makhluknya.

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.( Al-Baqarah ; 21)

Bahkan dalam surat surat Al-Ikhlas Allah lebih menegaskan lagi bahwa hanya Allah lah Tuhan satu-satunya yang kepada-Nya semua makhluk bergantung.

Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.(Al-Ikhlas ; 1-2)

Atas dasar ayat-ayat tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa tugas atau kewajiban sebagai seorang hamba adalah taat patuh serta berserah dri kepada Allah.

Hak Manusia
Hak adalah sesuatu yang layak di peroleh setelah menunaikan kewajiban. Maka ketika manusia telah mengetahui kewajiban sebagai tanggungjawabnya kemudian ia tunaikan kewajiban itu sebagiama mestinya, maka ia akan mendapatka apa yang menjadi hak dia sebagai Manusia.

a. Hak sebagai Makhluk
Manusia bersetatus sebagai makhluk yang dilengkapi dengan semua potensi yang terdapat pada dirinya. Maka ia wajib mempergunakan potensi tersebut untuk berfikir dan beramal serta berusaha menghadapkan dirinya kepada kefitrahannya.

Maka ia berhak mendapatkan ketenangan di dunia dan di akhirat mendapatkan balasan pahala.

Tetapi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya. (Surat At-Tin ; 6)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An-Nahl ; 97)
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.

b. Hak Sebagai Khalifah
Manusia yang menduduki status sebagai khalifah dalam arti penguasa/pemimpin. Ia bertanggungjawab atas kemakmuran dunia dan membumikan aturan Allah, serta melayani ummat dengan seadil-adilnya. Serta tidak terlepas dari kewajiban ia sebagai ‘abdullah (hamba Allah). Kemudian semua kewajiban ia sebagai seorang hamba, yang ditunjuk atau dianugrahi kedudukan sebagai khalifah, lalu ia menunaikan kewajiban itu dengan ikhlas dan hanya berharap kepada Allah semata. Maka ia berhak menjadi panutan ummatnya, dan

“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang mereka kerjakan”.(As-Sajdah : 19)

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka

mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (Al-Baqarah ; 25)
Kenikmatan di surga itu adalah kenikmatan yang serba lengkap, baik jasmani maupun rohani.

“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendak”i. (Al-Hajj ; 14)


Hak Sebagai Seorang Hamba

Seorang ‘abdi Allah yang taat dan patuh serta tunduk terhadap semua yang telah Allah titahkan kepadanya,yaitu untuk menyembahnya. Kemudia ia tunaikan dengan sepenuh hati dan kehusyu’an serta keikhlasan semata-mata mengharap keridhaan-Nya dan hanya takut kepada Allah Swt.

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.

“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami”.
Maksudnya: mengharap agar dikabulkan Allah doanya dan khawatir akan azabnya.

Dan ibadahnya sesuai dengan ketentuan yang telah disyariatkan melalui utusan-Nya. Maka ia berhak mendapatkan ketenangan jiwa hati yang bersih dari kemusyrikan, serta ia berhak mendapat ampunan Allah.

Di akhirat ia akan di golongkan orang yang beruntung dan tempat kembalinya adalah surga.



BAB III KESIMPULAN

Manusia baik yang statusnya sebagai makhluk, sebagai khalifah maupun tang statusnya sebagai hamba (‘Abd) adalah semua ciptaan allah yang bersetatus pokok sebagai makhluk yang distimewakan dari makhluk-makhluk yang lain. Namun yang membedakan kedudukannya adalah peran manusia dalam memikul amanah yang telah Allah berikan.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”, (Surat Al-Ahzab ; 72)
Sementara di hadapan Allah semua manusia sama derajatnya, baik ia pejabat maupun rakyat, ataupun baik dia itu khalifah maupun ummat. Hanya saja yang membedakan mereka adalah ketakwaan mereka sewaktu di dunia. “Sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah, adalah ia yang bertaqwa”,

Semua manusia yang beramal saleh dan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi serta meninggalkan larangan-Nya maka balasan bagi mereka adalah surga yang penuh nikmat.

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (Al-Baqarah ; 25)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An-Nahl ; 97)
Dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.

“Tetapi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya”. (Surat Al-Insyiqaq;25)

“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (At-Tin ; 6)




DAFTAR PUSTAKA


1. Al – Quranul Karim. PT PENA PUNDI AKSARA.
2. Nurul Haq, Dadan. 2009. Bahan Ajar Mata Kuliah Akhlak Tasawuf. Bandung : Tanpa Penerbit.
3. Quraish Shihab, Muhammad. 2005. Wawasan A-Quran: Tafsir Maudu’i atas pelbagai persoalan ummat . Bandung : PT Mizan Pustaka.
4. Zayadi, Ahmad, M.Pd. 2004. Manusia dan Pendidikan dalam persefektif Al-Quran. Bandung : PSPM.
5. Yasmin, Ummu. 2004. Materi Tarbiyah: Panduan Kurikulum bagi Da’i dan Murabbi. Solo: MEDIA INSANI Press.
6. Akhtar, Shabbir. 2002. Islam and WestrnModernity: Diterjemahkan Oleh Rusdi Djana. Islam agama semua zaman. Jakarta : Pustaka Zahra.
7. Nu’aim Yaasin, Muhammad, Dr. 2002. Al-Iman: Arkanuhu Haqiqatuhu wa Nawaqidhuhu. Diterjemahkan: Iman: Rukun, Hakikat dan yang membatalkannya, oleh Tete Qomaruddin, Lc. Bandung : PT Syaamil Cipta Media.
8. PKS. 2007. Ragkuman Materi Halaqoh Islah.






[1] Ahmad Zayadi, Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Al-Quran, (Bandung: PSPM, cet.1 2004, hal. 4).

[2] Ibid, hal. 6

[3] Dadan Nurul Haq, Bahan Ajar Mata Kuliah Akhlak Tasawuf, (2009, hal. 39)

[4] Ahmad Zayadi, Op-Cit, hal. 9

[5] Ibid, hal. 9-10

[6] Ibid, hal. 9

[7] Ummu Yasmin, Materi Tarbiyah: Panduan Kurikulum Bagi Da’i dan murabbi, (Solo : Media Insani Press, Cet. 7 2004, hal. 117).

[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudlu’i atas pelbagai persoalan Umat, (Bandung : PT Mizan Pustaka, Cet 16 2005, hal. 284)

[9] Muhammad Faiz Almath, , 1100 Hadis Terpilih, terjemah, A. Aziz Slim Basyarahil, (Jakarta : Gema Insani Press 1995, hal. 163).

[10] M. Quraish Shihab, Op-Cit, hal.424

[11] Muhammad Faiz Almath, Op-Cit, hal. 163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar